Persepsi Persepsi Cinta

Farid diam saja, hanya menanggapinya dengan senyum. Begitulah gurauan teman-teman di kampusnya, meskipun belajarnya di fakultas keguruan, calon pendidik. Kemaksiatan jadi bahan candaan. Andai diizinkan oleh orang tuanya, sebenarnya, Farid ingin segera menikah. Zina adalah dosa besar. Menikah merupakan cara yang terbaik untuk terhindar darinya. "Kalau sudah sukses, baru menikah. Belum sukses menikah, susah hidupnya. Kasihan istrinya. Kasihan anaknya juga," begitu nasehat ayahnya. Farid diam saja. Kata ustadznya, menikah itu membuka pintu rizqi. Tetapi Farid tidak mau mendebat ayahnya, itu tidak baik.

Malam ini Farid menginap di kontrakannya Andi, teman sekelasnya, untuk menyelesaikan tugas kelompok. Satu kelompok ada lima mahasiswa: Farid, Andi, Lia, Riko, Ira. Lia sama Ira juga menginap di situ. Mereka mengerjakan tugas hingga larut malam. Jam setengah dua belas baru selesai. Andi tidur sekamar sama Lia, Riko sekamar sama Ira. "Farid di kamar mandi saja ya," kata Riko. "Kan sudah biasa ngabisin sabun." Farid tersenyum saja. Ia memilih tidur di ruang depan di karpet.

Baca Juga Cerpen Cinta: Siswa ini Ajak Nikah Gurunya

Jam setengah tiga Farid terbangun. Segera ia berwudhu dan sholat malam. Lalu membaca Ratib Al haddad, Ratib al Athos, dan Hizib Bahr. Tak terasa adzan subuh berkumandang. Farid ingin ke masjid, tapi ia tidak mau mengganggu temannya untuk minta kunci kontrakan. Terpaksa ia libur sholat jamaah.

Jam 06:20 Riko bangun. "Farid, Bu Diah masih menjanda," katanya pada Farid. "Masak kamu tidak mau? Kesejahteraan terjamin lho. Punya rumah, punya mobil."

"Carikan tiga lagi," sahut Farid.

"Wah, satu belum punya, udah mikir empat kamu."

Waktu masih kelas XII SMA, Farid pikir menjadi mahasiswa itu akan banyak melakukan penelitian, banyak menulis karya ilmiah. Tetapi rupanya tidak begitu, menjadi mahasiswa baru berarti menjadi komunitas pemburu cinta. Lirik sana, lirik sini. Ada satu teman sekelasnya yang menurutnya cukup agamis. Jilbabnya panjang, tertutup seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan, ujung lengannya pun ditutup kaos sehingga tak terbuka saat tangannya diangkat. Wanita seperti itulah yang tidak ada di kampungnya. Luar biasa jika bisa membawanya pulang jadi pendamping hhidup, akann jadi teladan gadis-gadis di kampungnya.

"Kamu baca apa? Kamu paham maknanya?"

"Iya, paham. Ini sholawat nariyah. Kenapa?"

"Itu bacaan syirik. Tidak ada sumbernya dalam hadits."

"Loh, kok aneh. Dari dulu ulamak membaca ini. Berarti semua ulamak sesat?"

"Saya tidak menyesatkan ulamak, tapi yang tidak ada sumbernya, itu tidak boleh dilakukan."

Farid mendengar dialog itu dari balik tirai. Pikirnya, kalau hanya melakukan yang ada sumbernya dalam Quran dan Hadits, tak banyak aktivitas hidup. Farid penasaran, siapa wanita yang berdialog di tempat sholat wanita tersebut. Farid segera keluar dan duduk di serambi depan masjid di bagian tengah dan menunggu wanita yang berdialog tadi. Tetapi tak jelas karena ternyata banyak wanita yang keluar dari situ.

Farid sering di masjid. Ia merasa termotivasi dan bersemangat setiap melihat orang-orang baik. Menurutnya, setiap orang yang ke masjid itu adalah orang baik yang hendak beribadah atau hendak mengikuti majlis ta'lim. Jarang sekali ia nongkrong di kantin atau di tangga bersama kebanyakan teman-temannya.

***

"Pendidikan karakter itu tidak diajarkan. Tapi dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari," begitu kata pembicara seminar pendidikan kemarin di kampus. "Jadi, mencetak generasi yang berkarakter itu tidak bisa dengan teori, harus dengan teladan."

Sebenarnya Farid ingin bertanya, standard karakter yang seperti apa yang dimaksud, tapi ia tidak yakin sang pembicara punya jawabannya. Menurutnya, fakultas keguruan yang semestinya mencetak guru yang berkarakter, tapi kenyataan yang ia saksikan sungguh tidak demikian. Banyak dosen yang berbicara tentang pendidikan karakter, tapi tak jelas, menurut Farid. Menurutnya, karakter yang ingin dibangun harus jelas seperti membedakan karakter singa jinak dengan singa liar. Singa jinak bisa digendong dengan tenang, tidak seperti singa liar.

"Farid, apa komentarmu tentang siswa yang tega memukul gurunya?" tanya Bu Diah.

"Kok Farid yang dimintai pendapat, Bu?" tanya Riko.

"Cie... Cie...!"

"Ehm... Ehm...!"

Kelas jadi ramai. Bu Diah tidak marah. Beliau sudah maklum, memang begitulah kelakuan mahasiswa jaman sekarang. Sengaja Farid yang beliau tanya karena dia anak yang semangat dan serius belajar. Ia juga aktif menghadiri majlis ta'lim di masjid kampus. Farid juga aktif di komunitas Guru Indonesia Kreatif (GIK).

"Wajar, Bu," jawab Farid.

Bu Diah kaget. "Hah, wajar?!" Kelas jadi sepi. Rupanya teman-teman Farid juga heran dengan jawaban tersebut.

"Bayu yang baru lahir itu berani kencing di pangkuan ibunya."

"Bayi kan belum tahu itu."

"Kalau murid sudah tahu, buat apa disekolahkan? Suruh ngajar saja."

"Menurut kamu, tidak apa-apa murid mukul guru? Dibiarkan saja?!"

"Topik pembhasannya bukan itu." Jawaban Farid membuat teman-temannya bertanya-tanya. "Saya dimintai pendapat tentang siswa yang memukul guru, bukan tentang tindakan apa yang tepat terhadap siswa yang memukul guru."

"Menurutmu tindakan apa yang sesuai untuk siswa seperti itu?"

"Jika anak Bu Diah memukul Bu Diah, apa tindakan Bu Diah?"

Bu Diah tersenyum. "Kita fokus pada siswa pelaku pemukulan."

"Akan lebih jelas jika ada pembandingnya."

Sepertinya Bu Diah sulit menjawabnya. Dia sayang anak. Begitulah seorang ibu.

"Sejahat-jahatnya seorang anak, ketiadaannya tetap dirindukan. Iya kan, Bu?"

Sekali lagi Bu Diah tak bisa berkata-kata, hanya bisa merespon dengan senyum.

...Bersambung...

0 Response to "Persepsi Persepsi Cinta"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel