Bu Guru Jadi Istri Saya Saja

"Kamu menyepelekan pelajaran saya ya?! Ingat, kamu jurusan IPA, pelajaran Biologi merupakan pelajaran wajib. Awas kalau tidak lulus nanti! Tau rasa kamu." Angga diam tidak menjawab sambil memainkan ujung bajunya dengan jari tangan kanannya. "Kamu tidak serius sekolah. Orang tuamu itu membiayai kamu dengan uang beneran, bukan uang palsu. Mereka kerja beneran. Kamu? Kamu main-main di sekolah." Siswa yang lain diam. "Perhatikan yang lainnya. Bagi yang belum ikut Penilaian harian minggu kemarin, habis ini ngerjakan di kantor."

Bel berbunyi. Angga, Feri, Arif, Silvi mengikuti Bu Diah. Bu Diah menyuruh mereka duduk di kursi panjang yang terletak di depan meja guru dan memberi mereka soal Biologi. Tanpa banyak tanya, mereka langsung mengerjakannya.

"Bu Diah ikut daftar CPNS?" Tanya Bu Ratih, guru Matematika.

"Iyalah. Mumpung ada kesempatan. Siapa tahu rejeki," sahutnya sambil mengambil segelas air mineral. "Masak hidup begini terus. Gaji minus terus." Disambut tawa oleh guru-guru yang lain.

"Musiknya nggak sip," rupanya Bu Ema tidak suka lagu pilihan Bu Diah. "Ganti yang romantis gitu."

"Wah, lagi kasmaran ya..."

"Ngapain mereka?" Tanya Bu Susi melihat empat siswa di ruang guru.

"Mereka malas, tidak ikut ulangan harian."

"Bukan Ulangan Harian, Penilaian Harian," Bu Ismi, guru Bahasa Indonesia, mengoreksi Bu Diah.

"Aduh, sama saja. Istilahnya saja yang diubah."

"Wah, baju ini bagus sekali ya?" kata Bu Fika.

"Di Shopee, Bu?" Tanya Bu Diah.

"Iya, tapi mahal. Coba jadi PNS, bisa borong nih."

"Berdoa semoga lolos tesnya."

"Pak Fadli, sampeyan sudah sampai bab apa ngajarnya?"

"Masih bab Persamaan Linier, Pak. Materi ini yang saya tekankan, saya matangkan penyampaiannya, karena ini yang sering keluar di ujian nasional."

Keempat siswa tersebut tidak bisa konsentrasi mengerjakan soal. Mereka menyimak obrolan para guru di ruang guru. Mereka mengamati perilaku guru-guru mereka. "Kata ayah, belajar itu agar menjadi orang mulia, bukan agar bisa menyelesaikan ujian nasional," batin Feri. "Kalau tujuannya hanya itu, mending saya gunakan waktu untuk menghafal Quran dan hadits saja."

Baca juga: Cerpen Pendidikan, Sarjana Menganggur, Santri Tak Jadi Kyai

***

Sore yang cerah. Tempat favorit Feri untuk bersantai adalah di dekat kandang murai batu peliharaannya. Arif, sang pecinta burung Kemade, menemani Feri bersantai.

"Sekolah itu seperti main-main saja," kata Feri.

"Belajar sama guru di sekolah itu memang tidak sama dengan ngaji sama ustadz di masjid."

"Jujur saya bingung, bapak ibu guru sering menasehati kita agar semangat, rajin belajar, jadi anak yang baik, tapi... kita menyaksikan sendiri sikap mereka."

"Sebenarnya tidak baik sih menilai guru."

"Iya sih, tapi... Apa kita harus menutup mata dan telinga di sekolah?"

"Dulu, sebelum aku ikut ngaji di masjid, aku pikir hidup ini, ya... gitu-gitu aja. Belajar di kelas, ujian. Setelah itu, sudah. Gitu aja."

"Guru-guru kita tidak bisa menjadi contoh seperti ustadz."

"Benar. Ustadz memotivasi kita agar menghafal Quran, beliau sendiri hafal Quran. Beliau memotivasi kita untuk belajar bahasa Arab dan bahasa asing lainnya..."

"Beliau bisa lima bahasa."

"Beliau juga pebisnis sukses."

"Penulis juga."

"Guru-guru kita tidak begitu. Itu masalahnya."

"Jadi, tidak ada semangat yang bisa diteladani. Contoh Bu Diah. Beliau memotivasi kita untuk belajar Biologi. Terus, beliau sendiri, apa memanfaatkan ilmu biologi dalam kehidupannya? Hanya ngajar saja kan?"

"Mending kita, kita memanfaatkan ilmu Biologi dalam merawat burung."

"Lihat saja tetangga kita yang jadi guru. Bagaimana kehidupann sehari-harinya. Mereka sibuk mencari penghasilan saja. Beda dengan ustadz, ilmu yang dimiliki beliau memang berguna dalam kehidupan. Punya ilmu ahlak, beliau berahlak. Ilmu bahasa, beliau penulis."

"Sebenarnya kita tidak boleh suudzon. Tidak semua guru begitu. Tetapi, yang kamu katakan memang benar. Dalam kehidupan sosial, status guru dipandang rendah. Jauh sekali jika dibanding Ustadz Zaki. Beliau tokoh masyarakat. Pebisnis sukses. Disegani orang."

"Nah, itu, seharusnya guru itu menjadi tokoh masyarakat. Kenyataan sekarang, mereka kan jadi bahan ejekan."

"Sekolah minta sangu, kuliah minta sangu, jadi guru pun masih minta sangu."

"HahahHahAhaha..."

"Sebenarnya ada juga guru yang jadi tokoh masyarakat dan sukses. Tetapi, mungkin kita yang tidak beruntung. Tidak bertemu mereka."

"Kadang saya mikir, apa sebaiknya berhenti saja sekolah. Kawin saja."

"What...?! Ngawur kamu, Fer!! Kawin sama siapa?"

"Bu Rahma cantik kan?"

"Astaghfirullah... Ingat, ingat...!! Istighfar."

"Halal kan?"

"Iya, sih. Tapi... Ngawur kamu."

"HahahAhAhaha..."

***

Semua jamaah duduk dengan tenang. Feri sama Arif duduk di shaf depan, lengkap dengan iphone di atas tripod untuk merekam ceramah Ustadz Zaki. Feri sama Arif juga tidak pernah lupa buku catatan dan pena. Ustadz Zaki adalah imam tetap Masjid An Nur. Beliau diangkat jadi imam tetap oleh Pak Kasim, lurah desa Sumpilan. Ustadz Zaki lulusan Universitas Zaituna, Tunisia. Beliau menikah dengan anak pertama Kyai Sidiq, Maimunah. Beliau adalah tokoh agama desa sumpilan yang tidak dikaruniai anak laki-laki. Kelima anak beliau perempuan semua.

Banyak yang meminta Ustadz Zaki agar mendirikan pesantren. Mengingat ilmu beliau yang sangat luas, mubadzir jika hanya mengajar di masjid saja, seharusnya beliau mendirikan lembaga pendidikan besar.

"Setan itu tidak pernah berhenti dan tidak akan pernah menyerah untuk membuat kita celaka. Jadi jangan main-main jalani hidup." Semua jamaah tampak serius mendengarkan ceramah Ustadz Zaki. "Setan membuat anak adam malas bekerja sehingga jadi miskin, malas ibadah sehingga tidak bahagia hidupnya, setan membuat anak adam terpecah belah, tidak rukun sehingga kita jadi lemah." Lantang suara beliau. "Jadi, kita harus serius melawan tipu daya setan. Kita ini akan dicelakakan oleh mereka. Kita harus sadari itu." Sebagian jamaah mengangguk-ngangguk, tanda setuju dengan nasehat Ustadz Zaki tersebut. "Tetapi anehnya, banyak saudara kita yang malah suka dengan hal-hal yang disukai setan. Aneh kan?! Sehingga banyak anak muda islam yang gagal dalam hidup. Mereka putus asa. Mereka mengatakan itu takdir Allah. Mereka bilang sudah takdirnya hidup begitu. Tapi mengeluh. Kalau takdir, seharusnya tidak mengeluh. Orang yang menerima keputusan Allah itu bahagia hatinya. Tidak mengeluh. Hati-hati dengan tipu daya setan."

Feri mencatat beberapa penjelasan penting dan pertanyaan-pertanyaan untuk diajukan pada Ustadz Zaki di akhir ceramah nanti. "Tidak sedikit dari saudara kita yang lebih suka meminta nasehat dukun daripada nasehat ulamak. Tidak sedikit dari saudara kita yang lidahnya lebih banyak menyanyikan nyanyian-nyaian tak jelas manfaatnya dibanding melantunkan bacaan Al Quran dan Sholawat."

...bersambung...

0 Response to "Bu Guru Jadi Istri Saya Saja"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel